rss
twitter
    Impossible is Nothing but Nothing is Possible

Cerpen: Impian ke ITS

ni gue ada cerpen, cerpen tugas tepatnya. amburadul, maklum coz masih baru pertama buat. keep reading.
***
Sebuah Impian Dari Smaga ke ITS
“Aku ingin ke ITB, Yah.” ucap Luki kepada ayahnya saat makan siang. Sudah tiga kali ini Luki mengubah-ubah Universitas yang ingin dia masuki. Tahun pertama SMA, dia bercita-cita masuk jurusan Kedokteran UNAIR. Belum lama setelah menetapkan UNAIR sebagai tujuan selanjutnya, Luki sudah berubah pikiran. Dia ingin ke UI, dia ingin ke Jakarta dan mengambil jurusan Informatika atau jurusan Desain Grafis. Dan untuk saat ini, pikirannya berubah lagi. “Bagus juga. Menurut ayah persaingan anak-anak yang ingin ke ITB itu berat lho.” nasehat ayahnya. “Dan lagipula Bandung masih terlalu jauh, Nak. Mungkin Ibu akan sedikit tidak tega. Tapi jika itu cita-citamu, Ibu akan dukung.” ibunya yang sedang membereskan piring ikut menambahkan nasehat. “Dan kau harus mantapkan pilihanmu itu, Ki. Jangan tidak punya pendirian seperti itu! Tekadmu akan lemah nantinya.” senyum Luki melebar.
Luki adalah salah satu siswa SMA 3. Biasa disingkat Smaga. Luki Putra Maulana nama lengkapnya, ayahnya bernama Maulana Putra Malik. Jika diteruskan, kakeknya bernama Malik Putra Hasyim, dan memang begitulah nama dalam keluarga Luki. Khususnya untuk yang laki-laki. Luki siswa kelas 11 IA 1. Mempunyai sikap yang sangat ugal-ugalan, tidak tahu aturan dan sangat pemalas, walau begitu dia masuk dalam jajaran siswa cerdas. Dalam kehidupannya, dia tidak akan bisa lepas dari kegiatan berinternet. Facebook, Twitter, Blogger dan lain sebagainya sudah menjadi makanannya setiap hari. Apalagi tentang bermain game online. Mungkin sudah menjadi lauk pauknya. Entah kapan dia akan belajar jika hampir setiap waktu dia hanya ada di warnet. Setiap harinya Luki berangkat menuju sekolah hanya menggunakan sepeda Polygon Sierra. Bukan karena orang tuanya tidak menyediakan kendaraan bermotor. ”Malas, harus keluar uang untuk beli bensin. Apalagi hatus bawa SIM, STNK dan pakai helm. Daripada uang habis untuk besin, lebih baik untuk ke warnet.” itulah alasan Luki. Terlalu pelit.
Hari Minggu ini akan ada lomba fisika. Dan Luki diikutkan untuk mewakili SMA 3, dia terpaksa ikut dengan malas. ”Seharusnya hari ini hari untuk santai. Kenapa kalau bikin lomba harus hari minggu? Nanti cerita Bleach gimana ya?” Luki menanyakan anime faforitnya. Bima, yang menjadi sahabat kentalnya hanya bisa mendengus. ”Tak bisakah kau serius sedikit. Berusaha untuk menang. Tak takutkah kau dengan penyesalan?” Bima bertanya dengan logat bicara yang dibuat-buat. ”Tanpa belajar, mungkin aku sudah bisa menang. Aku tidak pernah gagal dalam pelajaran fisika.” Sifat sombong Luki kembali kumat. Dan ini juga yang dibenci Bima. Seringkali dia berpikir untuk menjauhi Luki, tapi apakah dia tega jadi sahabat yang seperti itu.
Mereka sudah tiba di SSC, salah satu bimbel yang ada di Blitar, segera mereka bertemu dengan peserta lain. Diantara peserta lain yang lain sekolah, ada seorang yang menarik perhatian Luki. Peserta dari Smasa, dan Luki benar-benar terpaku, secara otomatis mereka telah saling bertatapan dari kejauhan. Keduanya menunjukkan bahwa mereka sudah saling kenal cukup lama, ”Hei, Luki, apakah kau akan seberuntung namamu untuk mengalahkanku?” cewek itu mulai memanas-manasi Luki, padahal mereka baru saja bertemu. Wajah Luki merah padam menahan marah. ”Mungkin tidak.” lanjut cewek itu. Menambah panas hati Luki. ”Oh, musuh lama bertemu lagi ya?” Bima ikut angkat bicara disamping Luki. ”Hei Riri.” Bima setengah bereteriak. ”Kau masih seperti dulu.” cewek itu mengacungkan jempolnya, seraya tersenyum. Luki tidak peduli, segera berbalik arah. Segera kompetisi ini dimulai, Luki dan Bima dalam satu kelompok, dan dalam tiga setengah jam, Luki merasa tegang.
Setelah tiga setengah setengah jam mengerjakan soal-soal yang membuat bulu kuduk Luki merinding sendiri, Luki tidak segera menuju ruang tengah dimana para peserta lomba dukumpulkan. Dia menuju tolilet sebagai tujuan utama. Luki sekilas melihat Riri di kejauhan. Luki dan Riri adalah dua orang yang selalu bersaing dalam segala hal. Dan itu berlangsung sejak SMP, hingga sekarang, walaupun sebenarnya kemampuan antara Luki dan Riri berbeda sangatlah jauh.
Setelah selesai berurusan dengan toilet, mereka melanjutkan menuju ruang tengah. Didalam sudah berkumpul peserta lain, dan tiga kakak panitia dari ITS. Bima memandang mereka. ”Lihat, Ki! Jas almamaternya keren.” Bima berlebihan, terbengong-bengong. Luki bersungut, dilihatnya Riri sedang mengobrol dengan temannya, terlihat asyik dan santai. Dengan kesal, Luki mengeluarkan hapenya, log-in Twitter. Mengetikkan beberapa kata, ‘soal gila-gilaan, pembantaian otak secara perlahan, ITS kampret’. Bukan itu sebenarnya yang ingin dia tulis, itu sekedar pelampiasan. Diposting lagi beberapa kata, ’Kenapa aku terlalu takut?’ Luki terdiam, ”Bukan, bukan gini.” jeritnya dalam hati. Dihapusnya kata-kata tadi, diganti dengan yang baru. ’Riri ada disini, pengganggu kehidupan alam semesta gue.’
Luki dan Bima mengambil bangku belakang, Bima terlihat bersungguh-sungguh memerhatikan pengarahan dari kakak-kakak ITS itu, sedang Luki berkonsentrasi dengan twitternya. Kakak-kakak itu sedang mempromosikan salah satu jurusan yang ada di ITS, Teknik Fisika. Terdengar tanpa sengaja oleh Luki, ”Dijurusan ini, terdapat kelompok bidang keahlian, dalam kelas ini, mata kuliah kalian akan difokuskan sesuai pilihan kalian.” dilanjutkan oleh kakak satunya, ”Kelompok bidang keahlian itu ada bidang Instrumentasi dan Kontrol, bidang Fisika Bangunan, Akustik, dan energi, yang ketiga adalah bidang Rekayasa Bahan, dan selanjutnya bidang Keahlian Optik dan Laser.” ”Sebelum kami melanjutkan, adakah yang ingin bertanya?” banyak yang ingin bertanya, tapi sayangnya tidak untuk Luki. Kali ini dia benar-benar tidak mendengarkan.
Beberapa hari setelah itu, ayahnya mengajaknya ngobrol setelah makan malam. Dihadapan mereka tersedia sebungkus kebab, Luki membelinya setelah pulang dari les tadi sore. Ditambah dua gelas cappuccino. ”Saat lomba fisika kemaren, ada pengarahan dari pihak ITS, Ki?” ayahnya memulai obrolan. Luki hanya mengangguk, sambil melahab kebab ukuran spesial. Tangan kirinya memegang segelas cappuccino. ”Membicarakan tentang apa?” lanjut ayahnya. Luki berusaha menelan kebabnya dengan cepat, menyeruput cappuccinonya, ”Ehm, apa ya? Oh iya, tentang salah satu jurusan teknik di ITS.” ”Jurusan apa?” pancing ayahnya. ”Teknik Fisika.” ”Kau tidak tertarik?” Luki menggeleng, kali ini gigitan terakhir. ”Menurut ayah, jurusan itu cocok buat kamu.” Luki terdiam, tanda tak mengerti. ”Begini, kau ada bakat dalam hal fisika, mengapa tak coba kau tertarik dengan jurusan itu. Lagipula, jurusan itu termasuk jurusan baru, sehingga lulusan dari teknik fisika sangatlah sedikit. Dan sedikit itu menjadi langka, dan yang langka akan banyak dicari oleh perusahaan-perusahaan besar.” ayahnya sedikit menjelaskan. Luki menjadi tertarik, ”Tapi mungkin hanya sedikit perusahaan yang membutuhkan lulusan dari teknik fisika itu, yang ada pikiran aku yang membutuhkan hanya pertambangan minyak, Yah?” Luki kali ini bertanya. ”Tidak begitu, teknik fisika dari yang ayah dapat dari kenalan ayah adalah dasar dan rajanya semua teknik. Maksudnya, hampir semua jurusan teknik, seperti teknik elektro, teknik mesin, teknik komputer dan lain sebagainya, semua terangkum dalam teknik fisika. Coba besok kau cari di internet, berapa passing grade dari teknik fisika? Dan akan ayah jelaskan lagi sebabnya.” ayahnya bicara dengan mantap. Penjelasan ayahnya membuat dia tertarik, cita-citanya berubah lagi. Teknik fisika sudah menunggunya. ”Dan satu hal lagi, ayah akan menyarankan untuk mengambil ITS saja untuk jurusan ini.” semua nasehat ayahnya, bagi Luki sangatlah cemerlang, dia langsung mengangguk setuju.
Dering hape milik Luki berbunyi, sebuah sms masuk. Luki membukanya, dari Ayu, pacarnya. Segera dia masuk kamar, sembunyi, orang tuanya tidak tahu kalau dia berpacaran, atau backstreet. Setelah dibalasnya sms tadi, hapenya berbunyi lagi, kali ini telepon dari orang yang sama. “Luki, lagi ngapa, Yang? Hehehe.” terdengar suara manja dari seberang sana. “Habis ngobrol sama ayah. Ayu lagi nganggur ya?” Luki balik Tanya. “He’eh. Bosen nih. Keluar yuk!” Luki mendengus, mengomel lirih, dia merasa capek banget setelah pulang dari les tadi. Tak sengaja yang dilakukannya itu diketahui sama yang ada disebelah sana. “Napa, nggak mau ya? Nggak apa-apa kok, kalau Luki nggak mau keluar sama Ayu. Ayu mau tidur aja.” suara yang terdengar terlihat sangat kesal. Luki membenci ini. Dia merasa nggak tahan, dan tiba-tiba teringat Riri. Walaupun tidak secantik Ayu, dia lebih terlihat dewasa. Walaupun seringkali berantem, dia merasa nyaman asal itu dengan Riri. ”Ki!” suara dari hapenya menggelegar. Luki kaget setengah mati. Dia kaget bisa ngelamun pada saat-saat seperti ini. ”Nap, napa?” suara Luki tersendat. ”Ih, Ayu kesel. Luki kok nggak merhatiin Ayu ngomong sih. Dah deh, Ayu tidur aja.” telpon langsung dimatikan. Luki bengong, ”Salahku.” kalau begini, mau tak mau, Luki segera mengetik sms, ”Besok deh habis pulang dari les matematika, kita keluar.” laporan sms terkirim sudah diterima Luki, tapi tak ada balasan. ”Huh, cewek manja.” Luki tidur.
Esok sorenya, di rumah Pak Yuli, guru les matematika, Luki mengajak Ayu keluar. Sekaligus meminta maaf, walaupun dia masih gondok bukan main. Tapi kalau diterusin akan jadi hubingan yang nggak sehat. Menjelang waktu maghrib, les bubar. Setelah pamit, Luki dan Ayu segera tancap gas. ”Yu, aku sholat dulu ya?” Luki bertanya pelan. Ekspresi wajah Ayu kembali berubah, ”Terserah.” walaupun disembunyiin, Luki tetap menangkap nada kesal. Luki terpaksa menunda sholatnya. Luki tetap gondok bukan main. Mereka berhenti di warung, memesan dua porsi nasi goreng. Saat menyantap nasi gorengnya, hape Luki berbunyi. Dari ayahnya. Perasaan Luki tidak enak, segera diangkatnya hape itu. ”Assalamu’alaikum, Yah.” ”Luki. Kemana kamu? Kok belum pulang? Tidak pamit dulu tadi.” suara ayahnya menggetarkan hatinya, terdengar kecewa, dia merasa sangat takut. Belum Luki untuk menenangkan diri, terdengar suara cukup keras dari arah Ayu, dia membanting sendoknya. Setelah menutup telponnya, Luki mengajak Ayu pulang. Diperjalanan pulang, Ayu tidak bicara sama sekali, padahal Luki berusaha untuk mengajaknya bicara. Akhirnya Luki menyerah. Sesampainya di depan rumah Ayu, dia langsung masuk rumahnya tanpa bicara sepatah kata. Dengan wajah yang sangat lesu, Luki menuju arah pulang.
Setibanya di rumah, rumah dalam keadaan kosong. Luki segera sholat maghrib, padahal itu sudah jam setengah tujuh lebih. Tepat setelah sholat, ayah dan ibunya masuk rumah. Entah mereka dari mana, Luki tidak tahu. Mereka diam saja, membuat Luki tidak enak hati. Beberapa saat ayahnya memanggil, ”Kemana saja kamu tadi?” ayahnya mulai bertanya. ”Dari Pak Yuli, Yah. Tadi Luki tanya PR.” Luki berbohong. Wajahnya pucat, tubuhnya tidak berhenti gemetar. ”Bener?” ayahnya menekankan. Disamping ayahnya, ibunya hanya berdiam diri, tidak ikut angkat bicara. Luki hanya mengangguk. Tidak berani menatap mata ayahnya. ”Ayah barusan pulang dari Pak Yuli.” Luki kaget. Dia tertangkap basah berbohong. Keringatnya dengan cepat membasahi sekujur tubuhnya. ”Ayah dan ibumu kecewa, Ki.” ayahnya berkata lirih. Kali ini ibunya menangis. ”Ayah dan ibumu bekerja keras, agar kau bisa meraih cita-cita yang kau inginkan. Seharusnya kau mengerti, betapa kecewanya ayah dan ibu jika kau gagal.” kata-kata ayahnya cukup menusuk bagi Luki. Menyadarkan bahwa dia sangatlah bersalah. ”Dan agar kau tidak gagal, seharusnya kau berusaha bersungguh-sungguh. Tapi kenyataannya tidak. Ayah lihat kau seringkali meremehkan berbagai macam pelajaran yang sudah kau kuasai. Kau pikir kau sudah sangat pintar, Ki?” kata-kata ayahnya sudah cukup untuk membikin Luki sadar. Dia sangat jarang untuk belajar. ”Yang paling membuat kami semua kecewa, kau mempermainkan kepercayaan yang kami berikan kepadamu, Ki. Sadar akibatnya jika berbohong? Sadar jika kau diam-diam berpacaran dibelakang kami? Lebih baik setelah ini, kau tidak perlu melanjutkan les-les yang biayanya sangat mahal itu.” Luki semakin kaget, ”Tapi, Yah.” ”Biaya lesmu itu sangat mahal. Hampir melebihi biaya sekolahmu sendiri.” ayahnya diam sejenak. ”Dan hentikan kau bermain-main dengan pacarmu itu! Ayah tidak suka kau mengesampingkan cita-cita besarmu. Cita-citamu adalah sebuah karya besar, karya yang sulit sekali untuk digapai. Tanpa kau berpacaran saja, ini sudah sulit digapai. Apalagi jika kau melakukannya dengan berpacaran. Renungkan semua yang ayah katakan!” ayahnya mengakhiri kejadian malam itu.
Esok paginya, Luki masih merasa bahwa kedua orang tuanya masih marah. Hal yang wajar jika semuanya berakhir seperti ini. Di sekolah, Luki segera mencari Ayu. Dan satu tempat dimana mereka bisa langsung bertemu, di kantin. Ayu kali ini terlihat sumringah melihat Luki datang. ”Yu, aku ingin bicara.” Luki membuka pembicaraan. ”Ada apa?” ekspresi Ayu berubah, seakan mengerti situasi yang akan datang. Setelah sekian lama, Luki membuka inti pembicaraan, ”Lebih baik kita akhiri hubungan kita dulu deh.” Ayu kaget, tapi dia sudah siap dengan semua ini. Penjelasan demi penjelasan yang telah dikatakan Luki membuatnya sadar, dia terlalu mengekang Luki. Akhirnya berakhirlah semua.
Luki membuka bloggernya, dia tulis semua yang dia rasakan. Facebook tidak tertinggal. Bima yang sejak tadi duduk disampingnya jadi ikut lesu sendiri melihat sobatnya stres karena masalah yang bertubi-tubi. ”Aku sedang berjuang untuk menggapai ITS, apakah aku akan berhasil?” Luki membuka pembicaraan. ”Kau ingin ke ITS juga, kita samaan lagi donk.” Bima berusaha mencairkan suasana. ”Ya. Setelah lomba kemaren, dan informasi yang aku dapat melalui ini. Aku akan masuk teknik fisika.” Luki menunjuk laptopnya. ”Wow. Berusahalah. Mungkin saja cobaan ini bertujuan agar kau lebih konsentrasi dan bersungguh-sungguh. Lebih menghargai orang tuamu.” Luki tersenyum. Lega rasanya mempunyai sahabat. ”Makan dulu yuk!” ajak Bima, seraya berjalan keluar kelas. Luki berdiri, menyusul Bima, ”Ki, kau yang traktir, yah?” tukas Bima sambil tertawa keras.
Pulang dari kantin, Luki dan Bima melihat kumpulan beberapa anak melihat pengumuman. ”Eh, pengumuman peserta olimpiade yang mewakili sekolah sudah keluar.” teriak seorang teman kepada dua anak itu. ”Wah, Bima ikut olimpiade biologi.” Bima terkaget-kaget. Dia kontan ikut-ikutan berdesakan. Luki tidak ingin ketinggalan. Sudah lama dia menunggu pengumuman ini. ”Beneran, aku mewakili sekolah olimpiade biologi.” Bima teriak-teriak kegirangan. ”Selamat ya.” Luki memberi selamat kepada Bima. ”Kau masuk olimpiade apa?” Luki menggeleng. Bima menghentikan luapan kegembiraannya. ”Kau tidak masuk? Fisika? Matematika? Kimia?” berbagai pertanyaan dihujamkan ke Luki. Dan hanya dijawab dengan menggeleng. Bima mengerti kesedihan Luki, seseorang yang begitu yakin impiannya tercapai dengan mudah. Kali ini harus melewati jalan terjal.
Sebelum berjalan pulang, Luki membuka facebooknya, tiga pemeberitahuan muncul di facebooknya. Salah satunya permintaan pertemanan dari Riri. Riri ternyata masih online, mereka langsung terhubung. ”Apa yang kau tulis itu? Ada masalah ya?” Riri menulis sesuatu di wall Luki. ”Ada masalah sehubungan dengan sebuah tekad. Haha.” Balas Luki. ”Kita sudah lama tidak bertemu nih, ketemuan yuk. Sekalian kamu cerita. Mungkin aku bisa bantu masalah kamu.” Kebiasaan Riri yang tidak suka bertele-tele. ”Bantu masalahku jadi ringan? Mungkin jadi tambah ruwet. Hehe.” Luki mencoba untuk bercanda. ”Nanti aku traktir cappuccino.” kali ini Luki setuju, ”Oke.”
Mereka bertemu di kafe Okejoss, yang terkenal dengan menu utama cappuccino. Bermacam-macam cappuccino ada disini. ”Jadi, ada masalah apa?” Riri semakin penasaran. Luki menceritakan semua yang terjadi, dimana berakhir dari gagalnya dia masuk grup olimpiade. ”Menyedihkan, cita-citamu terhambat.” komentar Riri. Luki diam. ”Dan semuanya terjadi karena kau tidak bisa membagi waktu dan pikiran dengan tepat.” tebakan Riri benar. Luki tersinggung, merasa dirinya terlalu banyak untuk dipersalahkan. ”Kau masih sama seperti dulu, ya?” tukas Riri. ”Dan aku tahu semua yang terjadi dengan dirimu. Aku tahu semuanya dari yang kau tulis di blogmu itu. anakjigong.blogspot.com, itukan alamatnya?” Luki terkejut. Merasa kehabisan bahan pembicaraan. Begitu cepat, ”Darimana kau tahu itu?” Luki mengajukan pertanyaan. ”Oh, ayolah Ki!” Riri memaksa Luki. ”Kita mempunyai teman yang sama. Yaitu Bima. Dan kita mempunyai cita-cita yang sama. Dan yang paling penting, kita mempunyai perasaan yang sama. Betul kan?” Luki tidak bisa bicara divonis seperti itu. Semakin lama vonis Riri makin banyak. Dan semuanya benar adanya. Satu hal yang membuat wajahnya memerah. ”Kau tadi bilang apa Ri? Perasaan kita sama? Maksudmu...?” Riri memberi isyarat kepada Luki untuk berhenti bicara. ”Malu tahu. Culun banget deh. Harusnya cowok dulu yang ngungkapin perasaannya, bukan cewek.” Kegembiraan Luki kembali muncul. Suasana berubah jadi sejuk, bercampur hangat.
”Tapi, untuk saat ini, simpan dulu perasaan kita.” Luki makin bingung jadinya. ”Kau ingin ngelanjutin kuliah di ITS kan?” mata mereka saling bertemu. ”Aku tidak mau pacaran dengan anak yang cita-citanya enggak teraih.” mata Luki mendelik saking bingungnya. ”Tahun depan, 21 April, aku tunggu di pintu gerbang ITS. Sebelum tanggal itu, kita tak akan saling bertemu lagi. Konsentrasilah belajar.” Luki mengerti. Sebuah tantangan dari saingannya. Sebuah nasehat dari temannya. Kata-kata yang mengobati hatinya yang galau. ”Saat tanggal itu, katakan apa yang ingin kau katakan.”
Tanggal 21 April 2011, gerbang depan ITS. Jam 8 pagi, ketika seorang cowok turun dari sepedanya, menghampiri cewek yang sedang berdiri di samping gerbang. “Sorry, lama ya? Capek ya?” cewek itu menjawab dengan wajah cemberut, “Kebiasaan lama.” “Hehehe, maaf banget ya?” “Enggak apa-apa kok, Ki.” Riri tersenyum lebar. “Yang penting, cowok didepanku sekarang adalah mahasiswa ITS Fakultas Teknik Fisika semester ke-3. Seperti yang dicita-citakannya dulu. Dan aku juga berhasil masuk FK UNAIR.” Mereka berdua tertawa. Luki mengatakan semua perasaannya. Ganjalan dalam hatinya kini terlepas sudah. ”Happy birthday, Luki.”

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong kasih komentar ya.. terima kasih dah mau mampir di blog ini...

About Me

Foto saya
Fahim, sepatah kata yang merupakan nama saya. nama yang terus saya jaga dan saya perkenalkan kepada anda lewat blog ini. inilah fahim.

Follower